Detak yang lamban. Seperti kemarin juga. Serupa sebelum-sebelumnya jua. Pukul dua belas tengah malam. Angin menusuk gigil. Mencucuk sumsum dan tulang. Aku memasang jaket dan beranjak meninggalkan rumah. Menuju jantung kota kecilku, sekaligus menceburkan diri ke dalam malam.
Kuingat kata-katanya sore tadi.
Di beranda tempat kami bisa minum teh seraya menyaksikan kelopak-kelopak kamboja. Bercerita dan bersenda sambil menunggu senja tiba. Namun, sore kali ini menjadi lain. Setelah aku bercerita panjang, NAMUN ada yang masih belum aku ceritakan. akhirnya Ibu berkata lembut kepadaku seolah- olah saja dia sedang disengat kalajengking.
Aku menatap bola matanya dalam-dalam. Sebuah danau tenang. Telaga yang tidak pernah kehilangan kasih. Dia yang tiap malam rela membanting tulang bersama demi mendapatkan uang halal, memang tidak pernah membiarkan aku hidup kekurangan moral dan mengajari selalu sabar dalam kesederhanaan. Sampai aku besar. Sampai aku menyelesaikan kuliah di manajemen agroindustri.
Ah, bola mata itu serasa tak kuat untuk kulawan. bola mata tempat biasanya aku berteduh. Tempat menimba kebahagiaan yang tak pernah kering. Tetapi, bagaimanapun aku harus mencoba untuk menjelaskan.
Dulu terlihat kulit halusnya sekarang sedikit kusam, jalannya yang dulu kokoh kini sedikit melambai-lambai, bajunya yang dulu cukup dipakai kini kebesaran, yah...........itulah kamu, yang mengajari aku dalam sabar.
1 minggu aku berjumpa lagi dengan dia
aku cium tangan sucinya,.aku melihat ibu lagi bersandar santai menikmati malam hari dengan keponakan2. aku berbisik kalimat yang belum sempak aku ucapkan 1 minggu sebelum ini
"tanggal 26 Nopember aku wisuda"
Dia langsung berucap
"alhamdulilah anakku, akhirnya kamu dapat menyelesaikan kuliahmu tepat waktu walaupun dalam kesederhanaan keluarga kita"
Dia terlihat senang, apalagi aku tambah senang bisa memberi sekedar hadiah kecil dan ini semua aku berikan pada keluargaku, yaitu kamu IBU bapak Ku.